oleh Emma Hermawati pada 22 Juni 2011 pukul 21:11
Telepon itu, suara itu milik sahabatku. Bukan...bukan hanya sahabat tapi saudaraku yang 6 tahun ini ku ajak untuk sama-sama mengais rezeki di kota yang jauh dari sanak keluarganya. Dan laki-laki yang telah berpulang itu adalah laki-laki yang ingin melamarnya, laki-laki yang hari kamis seminggu lalu masih bugar dengan semangat hendak menempuh ribuan kilometer perjalanan darat melintasi dua propinsi selama 48 jam hanya untuk membuktikan keseriusannya. Aku masih mengingat dengan jelas kaca yang membening di mata mereka berdua yang membuatku menerka seberat apa perjuangan yang akan mereka jalani. Laki-laki itu adalah seorang duda.
Benar, dua hari kemudian setiba mereka di kota tujuan hari-hariku terlewati dengan dering demi dering nada telepon & SMS berisi rangkaian cerita peristiwa. Sang sahabat mati-matian meyakinkan orangtua tercinta bahwa laki-laki itu meski dengan status dudanya adalah seorang pria bebas yang tidak terikat perkawinan dengan siapapun dan Sang Bapak juga mati-matian mempertahankan pendapatnya bahwa sang sahabat tidak akan pernah bahagia hidup bersama dengan laki-laki seperti itu. Perang ego dimulai. Dan lalu mulai berwarna dengan sentuhan perbedaan budaya, perbedaan status, perbedaan prinsip serta beraneka perbedaan-perbedaan lainnya dan semua tetap atas nama kasih sayang!
" Bicaralah dari hati ke hati dengan saudaramu, katakan padanya bapak sangat menyayanginya " itu kata sang bapak...
" Kalau kau berbicara dengan bapak tolong sampaikan rasa sayangku yang teramat dalam pada beliau " yang ini ujar sahabatku...
Tapi ternyata atas dasar kasih sayang pun tetap tak mampu membangun jembatan komunikasi yang baik di antara mereka hingga perbedaan itu akhirnya menggariskan takdir sang Laki-laki untuk kembali ke kotanya sendiri dengan sebuah penolakan, sang Bapak mengajukan syarat yang terlampau berat untuk dipenuhi, sang laki-laki mesti pindah ke kota itu dan artinya ia mesti meninggalkan anak-anak tercintanya. Tapi tak ada yang bisa disalahkan!
Masih jelas, ditengah perjalanan pulangnya sempat sang laki-laki menghubungiku. Aku seperti melihatnya menerawang ketika berucap betapa jauhnya perjalanan yang dia tempuh....mungkin ketika itu, ketika dia di hadapkan pada sebuah pilihan hidup jiwanya justru telah melihat sebuah jalan abadi yang akan membawanya pada Sang Khalik. namun kedangkalan pikiran manusiaku tak mampu menangkap pertanda yang dia beri ketika dia berucap tak akan lagi bisa menjumpai belahan hatinya.
Hanya dalam hitungan jam sejak sang laki-laki sempat merebahkan diri dirumahnya, setelah ia bertutur ingin istirahat yang panjang pada sahabat-sahabatnya hingga akhirnya ia benar-benar pergi, benar-benar beristirahat. Kelelahan selama perjalanan panjang melintasi Sulawesi dan shock jantung yang diklaim dokter sebagai penyebabnya. Tak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi kecuali Allah Swt.
Sahabatku pergilah dengan tenang....
Menghadaplah Rabb-Mu dengan tenang hai jiwa-jiwa yang diberkahi....
Notes: Tuk saudaraku, maafkan kelancanganku menulis kisahmu. Peristiwa ini benar2 renungan untukku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar