oleh Emma Hermawati pada 20 November 2011 pukul 20:38
di batas siang dan malam itu sesosok berlutut memeluk angin di sudut jendela.
Rumah tua, setua penghuni, setua mimpi yang tak pernah sampai adalah surganya.
Tak peduli lalu lalang orang-orang di sisinya dengan seretan langkah yang terkadang menginjak ujung kelingking.
Berdarah.
Tapi perih tak nampak di kerutan wajah yang beku.
Dia memahat mummi di tubuhnya.
Bertapa.
Namun mummi itu sesungguhnya masih punya jiwa!
Jiwanya yang setia berputar-putar pada kebekuan sore, kedinginan malam bahkan di kehangatan pagi.
Jiwa yang nampak pada buliran air setetes demi setetes disudut mata.
Jiwa yang datang dari labirin waktu dan setia menyapa "kini malam-Mu telah datang dan suara-suara penyeru-Mu telah diperdengarkan, maka Ampunilah kami..."
Magrib berlalu,
sesosok tadi ringkih ditiup angin, di sudut jendela lapuk, membaringkan mimpi.
Tak ada lagi yang berkenan lalu lalang di sekitaran tubuhnya.
Darah dikelingking tak lagi berbekas.
Pias warnanya.
Tapi jiwa yang tadi bertapa dikebekuan kini seperti merpati di ujung awan.
Langit adalah kebebasannya.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar