Selasa, 03 Januari 2012

Catatan Cinta Semesta

oleh Emma Hermawati pada 12 Agustus 2011 pukul 21:12
Aku melihatmu diantara bulan, diantara bintang-bintang yang asyik bercengkerama dengan kelam malam. Entah apakah senyum yang tergambar di raut wajahmu ataukah irisan dendam tak berpangkal. Penuh rasa rindu dan dengan segala keterbatasan yang ku miliki, malam ini aku serasa ingin menerbangkan sayap-sayapku kepadamu. Tak peduli sayap-sayap cintaku ternyata telah remuk redam selama kurun waktu kebersamaan kita. Pun tak mengapa bila perjumpaan kita akhirnya hanya ada dalam tidur lelahku yang tak pernah terlelap.
Dia, sosok yang setiap malam aku dapati diantara ribuan bintang, ditengah cahaya lembut bulan biru dan di setiap pagi mendekapkan hangatnya mentari didadaku namun disetiap waktu yang dimilikinya penuh kebanggaan karena mampu mengiris hatiku menjadi keping-keping tak berbentuk dengan cintanya yang teramat angkuh untuk ku miliki sepenuhnya. Beberapa rentang masa yang lalu dia ramah menjenguk di tengah kemarau panjangku, menawarkan sejuknya air yang tak mampu lagi kutampung dalam kendi-kendi hatiku, mengusap lukaku yang hampir memborok dengan ketulusan yang tak bisa ku nilai dengan apapun. Dia, adalah Jibril dalam hati, dalam hidupku.
“ Kasih sayang yang aku tawarkan dan  aku inginkan darimu”, bisiknya perlahan di ujung telingaku malam itu setelah siangnya dia menulis di dinding sederet angka dan huruf tak beraturan yang tak mampu ku maknai. Tanpa upacara aku dan dia hari itu adalah sepasang pengantin yang tengah berlayar di langit biru menuju bulan, menuju istana dan surga yang dibangunnya untukku. Aku merayakannya sendiri dengan cahaya airmata dan bunga terimakasih namun aku masih mampu tersenyum, karena dialah malaikat yang akan mengantarkanku ke surga..
  Malam-malam berlalu masih teramat rajin memantulkan gambarnya meski terkadang mendung membungkus bulan dan ribuan bintang dalam selimut kebesarannya. Akupun masih bisa menandai segaris senyum di bibir dan pendar menggoda di matanya.
“ Aku hanya ingin berbagi diri dan cintamu dengan bulan dan beribu bintang di langit, bukan dengan orang lain dan tak ada orang lain!”. Maafkan aku yang mulai mengikatmu dengan rasa kasih yang teramat dalam, tapi dia hanya tersenyum merengkuh bahu mungilku, menghadiahkan kecupan hangat di sudut bibir, sembari mengajakku bercerita tentang hidup. Hidup yang baginya adalah memberi kehidupan bagi orang lain, itulah hidup yang hakiki, hidup adalah ladang bakti bagi orangtua dan keluarga, juga orang lain!. Hidup akan menemukan hakikatnya bilamana kita memahami bahwasanya kita hidup bukanlah untuk diri sendiri tapi justru untuk orang lain. Satu hal yang menjadi dasar kekagumanku pada sosok tegar itu.  Aku akan hidup untuk menghidupimu, malaikatku!
Jika malam selalu menggambarkan bayangnya, maka pagi yang menjelma akan menyodorkan cerita-cerita panjang tentang aku dan dia. Disinar surya itu ada pita panjang berisikan jalinan kisah; suka, derai tawa, canda juga sedih, sakit, cemburu, airmata bahkan dendam!!!! Karena perjalanan waktu perlahan-lahan memberitahu bahwa bukan hanya aku yang diberinya hidup tapi sederet nama lain; nama-nama yang juga  tertulis dalam hatinya. Ya Tuhan…bukankah aku pernah meminta agar hatimu hanya terbagi untukku dan keluarga yang begitu engkau banggakan?…………..Tapi dia selalu berhasil memetik bunga-bunga maaf atas segala pertanyaanku, memenuhi rongga hidungku dengan wangi tulusnya dan airmata luka itu harus bisa ku telan kembali.
Cinta tak pernah bersyarat begitu celoteh riang burung-burung pada awan, pada hamparan langit dan puncak gunung membisikkannya padaku; jangan pernah meminta, mengharap, menuntut apalagi memaksa pada cintamu karena itu bukanlah sebenar-benarnya cinta. Hingga gemuruh ombak lirih menenangkan cemburuku; kesejatian cinta adalah selalu memberi kebahagiaan tanpa pernah sekalipun menuntut balasan! Ah…malaikatku maafkan aku.
Sampai akhirnya aku mesti banyak belajar pada terik matahari tentang panas yang menyengat tapi tak perlu membakar sesuatu selama masih ada tetes kesejukan membasah. Tak lupa aku diajari oleh hamparan pasir ditepian pantai; betapapun ombak menghantamnya, memaksanya bergulir entah kedasar lautan sedalam apa namun tetap berwujud seperti asalnya. Cinta tak harus merubahku menjadi raksasa atau iblis yang terbakar cemburu. Bila dia mengajariku tentang kehidupan maka aku belajar dari semesta tentang bagaimana menghadapi hidup itu sendiri, hingga aku dan dia masih bisa terus bergandengan tangan membelah hidup. Dan aku masih mampu menciptakan seulas senyum ketika jemariku mengusap rambutnya, menidurkan cintaku sementara langit-langit hatiku justru meneteskan pilunya.
Malam ini masih seperti malam kemarin, diruangan persegi empat berdinding putih, dingin dan kaku aku masih menatap ribuan, puluhan ribu atau bahkan milyaran bintang dilangit-langit kamar. Diantaranya jelas terlukis wajah berhias senyum samar. Dia yang kini entah tengah menikmati hidupnya puluhan kilometer dariku, memaksaku merangkai huruf-huruf kabur membayangkan nama siapa lagi yang akan ditulis di dinding  hatinya, dalam sebuah kamar yang mungkin akan bersebelahan denganku hingga aku bisa mendengar janji-janji mereka, bahkan bisa mengintipnya melingkarkan cincin sambil berucap; kasih sayang yang kutawarkan dan kuinginkan darimu. Seperti yang pernah diucapkan padaku lalu. Ah….bulanku, doa-doa tak cukup mengusir sesak karena kesendirian ternyata hanya dan selalu menawarkan prasangka, maka ijinkan aku membelah cahaya untuk masuk ke rahimmu. Biarkan waktu kelak melahirkan aku menjadi salah satu bintang di langit, atau sebutir pasir di pantai,  pun sekedar buih ombak di hamparan laut hingga aku yang akan menjadi guru bagi orang lain dalam menghadapi kehidupan.
Cintaku tak perlu menangis, rinduku tak usah mendendam karena aku ingin tetap hidup untuk menghidupimu.

Toili, 07 Pebruari 2006
kembali copas dari lembaran buku harian 5 tahun lalu dan kini yang sampulnya tak lagi berbentuk..hampir luruh digerayangi rayap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar